Selasa, 22 Januari 2013

Althofun Nisa

Semakin kuat berharap kepada makhluk, semakin resah, menggelisahkan, dan siap-siap dengan kesedihan dan kekecewaan.


Kubaca lagi sms harian dari Aa Gym.

Aku tersenyum kecut. Resah, galau, sakit, patah hati, kecewa.  Ah, kamus macam apa itu. Predator pencabik harapan. Seperti tak punya tujuan.  Sebab harapan yang berlebihan. Namun aku merasakannya saat ini. Tepat ketika temanku bercerita dengan ringannya,

“Aku habis ditolak.”Suara baritonnya diseberang telepon.

“Ditolak siapa?”Aku memperjelas kalimatnya.

“Anna Althofun Nisa”

Aku hanya ber oh ria. Aku tahu gambaran gadis pujaannya. Gadis cantik, pintar dan shalihah tentunya. Seorang wanita sederhana yang luar biasa. Jangankan laki-laki sepertinya, aku saja yang wanita, begitu sangat mengguminya.
The inspirator woman


Dia bercerita lagi tentang peristiwa penolakan itu. Menghibur diri tentang hikmah dibalik semua. Tentang perbedaan diantara keduanya. Tentang... ah apapun alasannya aku tak begitu memperhatikan. Entah dirinya bercerita apa lagi. Entah penolakan apa maksudnya. Penolakan lamaran atau penolakan lainnya. Aku hanya berusaha menjadi pendengar. Aku tak ingin bertanya lebih lanjut. Aku takut. Aku takut lebih terluka. Mendengar dirinya berani menyatakan dan membuka hati untuk mbak Anna saja hatiku merasakan desir yang berbeda. 

Aku memang berharap. Harapan yang bukan pada semestinya dan melebihi kadarnya. Aku sadar itu. Dan sekeras apapun aku berusaha menetralisir hati. Tetap saja ada yang berbeda ketika dirinya kembali datang meyapa. Wanita. Wanita. Wanita. Sebeginikah menjadi wanita? Memendam perasaan tanpa pernah mau diungkapkan. Aku diam. Lagi lagi hanya bisa diam
.
Dia masih bercerita. Sedangkan aku menahan kerongkonganku agar tak berbicara bersama desakan airmata. Tak layak rasanya membuang air mata hanya untuk seseorang yang bukan hak. Bukan siapa-siapa. Dzholim rasanya jika hati, lagi-lagi kubuat terluka. Hati yang semestinya diberikan nutrisi. Nutrisi  keteduhan dari al quran. Entah dengan apa kudefinisikan, hatiku tetap saja hati. Yang bisa terluka ketika terhujam belati.

Anna Althofun Nisa, aku menyebutnya. Namanya kuambil dari film KCB Habiburrahman El Shirazi. Putri kyai, cantik, pintar, shalihah dan sungguh penuh pesona. Meskipun kami amat jauh berbeda, tapi dia adalah salah satu inspiratorku. :)

Bi husnil fi'li was samti :)


Wahai wanita yang lembut hatinya...
Wahai wanita yang lembut perangainya...
Semoga akan lahir Althofun Nisa lain yang akan menghiasi dunia...
Membawa lentera ilmu
Menjadi teladan perilaku
:)

Untukmu temanku, 
Jangan pernah berhenti berharap. Jika jodoh, kudoakan engkau bertemu dengannya di pintu yang halal. Namun jika tidak, semoga ada Althofun Nisa lain yang senantiasa menjadi bidadarimu di dunia serta akhirat.

Untukmu hatiku,
Jangan pernah takut. Jangan pernah resah. Harapmu hanya pada Tuhanmu. Rabb semesta alam. Adukan pada-Nya di sepertiga malam. Dia tak pernah mengabaikan dan membiarkan kita sendirian. Be the best for your husband. Karena dialah yang senantiasa akan menjaga diri dan hatimu kelak. Aththoyyibaat lith thoyyibiin. :)

*Matikan musik instrumen My Heart Will Go On by Cellindion. Seka airmata tak guna. Ambil wudhu. Rehat untuk sambut esok dengan semangat.

V
Jannaty, 22:59 WIB
Selasa, 22 Januari 2013







Rabu, 16 Januari 2013

Perawan Tengik

Kalau Kugy dan Keenan punya “radar neptunus” buat memancarkan signal. Aku dan Omah punya sandi rahasia yang selalu bikin kami ngikik ketawa. Setiap sandi itu muncul, secara serempak bak koor terkomando, tawa kami membahana.




Omah bernama lengkap Dwi Rohmayanti. Bukan anak presiden, bukan anak pejabat, kyai atau menteri. Tapi dia punya kharismatik sendiri. Bersamanya duniaku berubah. Seperti memasuki dimensi lain yang hanya ada aku dan dia. Dia anak yang supel, energik and nyambung banget diajak ngobrol. Kita biasa ngobrol bareng, jalan bareng dan diskusi. Oya dia juga sainganku waktu Tsanawiyah dan Aliyah dulu. Lagi-lagi, aku yang kalah. Dia selalu menjadi nomor satu dan aku yang kedua. But its fine. Kami tetep bareng-bareng dalam banyak hal. Sampai hoby kami pun sama. Bersamanya, 24 jam rasanya kurang. Selalu ada tawa tak henti  yang menemani kami. Wah untuk Omah ini pokoknya klop banget deh. Bahkan sempet mikir, asik banget kalau punya suami yang klop kayak gitu, plus punya hoby yang sama pula.

Dewi n Dwi
Sandi pertama. Ssssst, inget ini rahasia. Hanya diberikan untuk agen terpercaya yang sudah aku lantik. Kalau Kugy punya gantungan “K” buat para agennya. Sayang, untuk agen kami belum punya simbol apa-apa. Kagak ada modal. Haha. Lebih tepatnya sih, agen amatir, belum seprepare Kugy dan Keenan. Eh, by the way kamu kenal Kugy nggak? Kalau belum, tonton atau baca aja buku “Perahu Kertas” nya Dee ya. Kugy itu kembaran aku, hehe. Cuek, apa adanya, simple dan sederhana. Kugy selalu punya radar sakti yang signalnya tak diragukan. Nah, kami punya sandi rahasia yang mujarab buat obat bete, bunyinya “ Eeet Dah”

Eeet dah berawal dari pak Ardi. Yang sering nyelipin kata eeet dah apapun kalimatnya. Apapun yang ia bicarakan, si eeet dah nggak pernah ketinggalan. 

“Eeet dah, dari kemaren kemana bae ya.” “Eeet dah, wayah gini baru dateng.” “Eeet dah perut laper amat ya.” “Eet dah lu mah neng konci aja pake ketinggalan.”
 “eet dah si Dwi liat tuh bajunya gede amat ya” wkwkwkwk. Satpam Betawi tulen itu berhasil bikin Omah ngakak. Dikit-dikit ngomong eet dah, sebentar-sebentar komentar eeet dah.

 Dan setiap kali berbicara dengannya, Omah selalu nyelipin kata eeet dah sebagai partner ngomong yang supel. “Eeet dah, saya lupa Bang.” “Eeet dah, biarin napah Bang.” Haha. Nah, pas Omah ceritain eeet dah nya pak Ardi ke aku, serempak kami ngakak. Tiap kami ngobrol, terus ada yang nyeletuk  eeet dah khas betawi dengan intonasi sedikit ditekan, otomatis bete pun ilang. Hehe, Pak “Eeet dah” makasih ya buat sandi mujarabnya. Hiduuup eeet dah!. 

Haha. Eeet dah apa bae dah ditulis, si Pita :D

Sandi kedua. 

Sandi ini kami temukan di kutub Selatan. Ahad, 13 Januari 2013. 

 “Omah bangun, shubuh! Udah jam berapa ini.”
Mata kami mengerjap. Jam lima lewat. Ketukan pintu terdengar lagi, kali ini lebih keras. Omah segera bangun sholat shubuh diikuti aku.Setelah selesai, aku nanya, 
“ Mah, tadi emak Lu ngomong apa pas ngetok pintu?” 

“Kagak, cuma bangunin shubuh doang.”

“Bukan, bukan yang itu. Ada lagi.” Aku coba mengingat-ngingat kalimat terakhir ibunya yang terdengar samar. 

“Oh, tadi bilang ‘bangun, shubuh! Biarin dah sholat-sholat, kagak-kagak’” Omah nyengir. Aku ikut nyengir, ungkapan putus asa dari seorang ibu. Memang hari sebelumnya kami terlalu kelelahan sampai shubuh pun perlu dibangunkan. Aku jadi malu sendiri. Teringat ucapan bu e si Azzam KCB,
 “Ibu pokoknya ndak setuju. Wong di rumah orang saja sudah nekat bangun siang. Gimana di rumahnya sendiri. Jam 7 pagi belum bangun. Pagi-pagi kok tidur. Rejekine dipathuk ayam.” Ah, suara bu e Azzam yang njawani dan lembut masih selalu terekam di otakku. Menjadi obat ampuh bagi gadis di era global seperti aku. 

“Itu mah mending, Pit. Biasanya nenek gue kalo bangunin nih, kalo gue jam 9 pagi belom bangun, gedor-gedor pintu sambil bilang begini, ‘heh bangun! perawan tengik wayah gini belom bangun’.” Kontan nggak pake kredit aku ngikik. Kalimat neneknya ringan tapi nampol banget.

 “Apaan, Mah? Perawan tengik?” haha. Keren banget tuh nenek Lu” Kami tertawa serempak. Julukan perawan tengik emang pas banget buat dia. Eh, salah ding. Buat gadis manapun yang jam 9 pagi belum bangun. Ah, celetukan-celetukan seperti itu memang sangat dibutuhkan. Biar nggak jadi perawan basi, melempem alias TENGIK. Haha :D

Hello perawan tengik? Malu dunk sama ayam bangunnya kesiangan :p

Sebelum ashar, tepatnya setelah kami ngebolang dari TMII, aku melihat langsung sang nenekku pahlawanku itu. Kutaksir usianya sekitar 70 tahun. Nenek dari bapaknya Omah. Dia banyak berbicara dan bertanya dengan kami. Suaranya jelas. Postur tubuhnya tinggi dan keriput tentunya. Respon beliau dari setiap obrolan kami juga baik dan lugas. Aku jadi teringat dengan nenek-nenek lain yang pernah aku jumpai. Rata-rata yang usianya seperti beliau, bersuara kurang jelas dan responnya kurang baik, kita bilang A beliau jawab B. Nah, untuk nenek Omah ini sang pencetus “Perawan Tengik” beda. Aku langsung bertanya ke Omah,
 “Mah, nenek lu masih seger.” Omah cuma nyengir. “Rajin baca qur’an ya?” 

“Iya, Pit. Puasanya juga rajin. Nggak pernah ketinggalan.”

 “Oh pantes. Senin Kamis?” 

“Iya, sunnah yang laen juga sering.” Aku ngangguk-ngangguk. Tak heran, sering guruku bilang tentang hal ini. Orang yang rajin baca quran, di masa tua biasanya nggak kena pikun. Aku jadi malu sendiri. Semangat mudanya lebih berkobar dibanding usianya. Benar-benar sosok teladan.

“Gue besok mau puasa ah” Omah nyeletuk. 

“Masih punya utang nggak lu?” tanyaku. Dia nyengir.

Dalam hati aku niat, insya Allah besok Senin aku akan puasa. Dan Omah adalah partnerku menuju lebih baik bersama. Fastabiqul khoirot. Masa-masa di pondok bisa kita ulang bahkan kita ukir menjadi lebih baik lagi. Omah, lets grow up together ^^

Ups! Cukup segitu asal usulnya sandi kedua. Perawan Tengik. Nah, setiap sandi itu terlontar dari aku atau Omah, otomatis serentak kami tertawa. :D

Huft, hidup. Indah banget ya ^^. Diukir dengan ujian, air mata dan canda tawa. Semua adalah tarbiyah-Nya jika bisa disikapi dengan sebaik-baiknya. Kullu syai-in hikmah. Segala sesuatu itu memiliki hikmah.
Jangan pernah takut, jangan pernah risau. Allah tak pernah membiarkan kita sendirian. Dia menganugerahkan Al quran dan Al Hadits sebagai kompas kehidupan. Dilengkapi dengan keluarga, kerabat dan handai taulan. Semua, titipan-Nya. Sikapi dengan sebaik-baiknya. Fabiayyi aalaa-i Robbikumaa tukadzdzibaan? Nikmat Tuhanmu yang mana lagikah yang pantas engkau dustakan? J

Sebelum ditutup. Praktikkan ini dulu. Jari telunjuk kanan dan kiri, tempel di atas kepala. Terus gerakkan ke atas dan ke bawah. Sambil ngangguk-ngangguk kayak antena semuuut ^^ Radar planet biru begitu. Agennya si “D”. Dewi Mafita Sari and Dwi Rohmayanti. ^_^


Eeet Dah, Perawan Tengik. (Aku yakin, saat ini kami teertawa di tempat berbeda) :D

V
Pinggir Danau TMII
13:05 WIB
Ahad, 13 Januari 2013

Jannaty, 22:31 WIB
Senin, 14 Januari 2013 M
1 Rabiul Awal 1433 H







Aku Dengar, Bunda



“Ayo, Ayu sholat” Aku membujuk Ayu yang sedang asik duduk menyendiri di bangkunya. Dia hanya mengeleng. Seperti biasa ia menunduk, sebisa mungkin agar tidak kontak mata denganku. 

“Ayo, Ayu... teman-temannya sudah sholat tuh. Masa Ayu nggak sholat terus setiap hari. Kalau nggak sholat masuk neraka, lho. Emang Ayu mau masuk neraka?” lagi-lagi aku ceramah yang seharusnya tak perlu. Aku yakin anak sepertinya tidak mempedulikan kalimat sepanjang itu. Ia menggeleng sekali lagi.

“Tadi bilang nakal. Pegang tangan keras” Ayu berusaha menjelaskan dengan suaranya khas anak berusia 5 tahun. Ayu berusia 7 tahun. Namun untuk berbicara kita perlu mencernanya lebih dalam. 

“Apa? Siapa yang bilang nakal? Pegang tangan keras? Siapa?” Aku mencoba memperjelas ucapannya. 

“Bu Guru.”

“Bu Guru? Kapan?” anganku mulai menerawang. Kejadian tadi pagi terputar ulang. Pagi ini Ayu tak mau belajar di kelas. Dia selalu keluar kelas pada jam pelajaran. Berlarian dan berputar-putar di lapangan. Biasanya kubiarkan dia seperti itu. Nanti setelah lelah dia pasti balik ke kelas dengan sendirinya.  Aku tahu betul Ayu tidak bisa dipaksa. Semakin kita keras dia akan semakin menjadi. Namun pagi ini aku benar-benar kesal.

“Ayu kenapa sih kok nggak nurut sama bu guru? Biasanya Ayu pinter.” Aku mencoba berkomunikasi. Berharap aku menemukan solusi dari yang ia ceritakan.  Nihil. Ia tetap berusaha keluar kelas, menutup telinga dan menghindari kontak mata. Aku nyerah. Kubiarkan ia bermain dengan dunianya. Semoga nanti moodnya berubah bagus sehingga aku bisa mencuri-curi untuk menyelipkan ilmu. Harapku.

Sampai jam istirahat berlalu Ayu tetap dengan dunianya. Aku bujuk membaca buku cerita, hanya bertahan 5 menit. Setelahnya dia menari-nari lagi. Biasanya ia mampu duduk manis selama satu jam lebih untuk membaca. Dan kemampuannya membaca lancar adalah anugerah tiada terkira untukku. Mengingat dirinya sama sekali tak mau belajar membaca, apalagi menulis.

Dan detik itu dimana teman-temannya sedang khusyuk menyimak pelajaran. Dimana dia menari-nari di depanku. Aku langsung bilang “Ayu, bu guru bisa marah lho. Ayu kalau begini terus nanti bu guru marah. Ayu kenapa sih? Kok dari kemarin nggak nurut?” aku benar-benar kesal. Sejak 4 hari lalu Ayu tak bisa dikendalikan. Ayu mengambil bolanya. Dia berjalan menuju pintu. Bermain lagi dengan dunianya. Sergap aku tutup pintu. Dia berusaha keras membuka. Kupegang pergelangan tangannya. Pintu tertutup rapat. Ia tiduran dibalik pintu mencari celah bagaimana agar pintu terbuka. Putus asa, dia memejamkan mata. Badannya diam berusaha tidur, seperti biasa.

“Ayu kenapa sih? Kok jadi nakal” matanya tertutup, sepertinya sama sekali ia tak mau mendengar. Kubiarkan dia, menunggu moodnya pulih kembali.

Dan ketika statementnya keluar. Sedikit tapi sangat berarti. Naluriku terketuk. Pikiranku terbuka. Tadi bilang nakal. Pegang tangan keras. Aku mengatakan kata “nakal” tanpa berdosa. meluncurkan panah kata tanpa pernah berpikir akibatnya. Aku telah menyakitinya. Cengkraman tanganku yang kuanggap biasa, menjadi cengkraman maut yang mematikan moodnya. Dia merekamnya dengan sangat kuat. Dia begitu sensitif. Dia layaknya anak lainnya, adalah kertas putih. Polos dan apa adanya. Sekali kita meremasnya, akan tetap tersisa kusutnya. 

Aku sontak memeluknya. “Iya... maaf ya. Bu guru minta maaf” aku menyodorkan tanganku. Dia mengambil tanganku dan menciumnya. Dia tersenyum. Subhanallah, begitu berartinya setiap ucapan kita. Begitu bermaknanya gerak-gerik kita. Sekecil apapun menjadi motivasi atau boomerang bagi mereka. Pantas saja oarang-orang shalih terdahulu berpesan, ucapan itu adalah doa. Ucapkanlah yang baik-baik meski dalam keadaan marah sekali pun.

 Jadi teringat guruku bilang, “kalau marah sama anak bilang aja begini ‘ gue sumpahin lu jadi anak pinter’.” Kontan waktu mendengarnya aku tertawa. Benar-benar lucu tapi benar. sungguh bermakna. Karena ucapan seorang ibu kepada anaknya adalah doa yang akan terijabah tanpa penghalang.

“Sekarang... Ayu sholat yuk!” aku menuntun tangannya. Dia segera mengambil mukenanya di loker. Bergegas sholat dzhuhur menyusul teman-temannya. Namun tetap saja berakhir tubuhnya di lantai. Ia tertidur ketika sujud.

 Huft, bagaimanapun setidaknya lukanya telah terhapus. Tergantikan dengan senyuman yang ia bawa dalam mimpinya. Biarlah. Biar Allah yang yang akan menumbuhkan intelektualitasnya di waktu yang tepat. Karena kita sebagai orang tua, adalah berikhtiar dan berdoa. Karena aku yakin, Ayu mempunyai keistimewaan sendiri. Entah itu apa dan kapan akan terungkap. Terbukti  ia sekarang mampu membaca lancar di tengah kemalasannya belajar membaca dan menulis.

Bunda... betapa ucapan seorang ibu adalah doa. Betapa ucapan kita adalah mesin yang mampu melecut semangatnya. Bahkan sebaliknya. Menjadi panah pembunuh kreatifitasnya. Mereka mendengarnya Bunda... mereka merekamnya. Sekalipun mereka tidak mengutarakannya. Betapa ucapan kita menjadi lentera setiap langkahnya. Bunda... ucapkanlah yang baik-baik.  Meski dalam keadaan marah sekali pun. Diam lebih utama Bunda... ketimbang mereka mendengar kita  berucap kasar bahkan menghardiknya.

Ayu adalah salah satu dari sekian anakku yang mengajarkan banyak hal. Karena mereka bukan sekadar murid. Justru merekalah guruku. Guru yang mengajarkan apapun lewat tingkah dan ucapan polosnya. Terimakasih Rabb... telah membekaliku menjadi seorang ibu. 

V
Jannaty, 11:59 WIB
Selasa, 16 Januari 2013 M
 3 Rabiul Awal 1433 H


Selasa, 01 Januari 2013

Teks Maulaya Shalli


مُحَمَّدٌ أَشْرَفُ الأَعْرَابِ وَالْعَجَمِ
مُحَمَّدٌ خَيْرُ مَنْ يَمْشِيْ عَلَى قَدَمِ

Muhammad adalah termulia di hadapan Arab dan Ajam
Muhammad lah sebaik-baik manusia yang berjalan di bumi ini