Senin, 18 Juli 2011

Mengapa Harus Malu

Dia tersenyum. Peci hitam itu lagi. Tangannya merapikan sandal-sandal dan sepatu. Suaranya terdengar lantang menarik para pengunjung yang datang. Genggamanku mengencang saat ibu menghampirinya. Dia tersenyum lagi menatapku. Aku beringsut dibelakang ibu. Menghimpit di pinggiran jalan berjejal dengan kendaraan yang lewat. Suara bising artis tak dikenal dari vcd bajakan membuat Pasar Malem semakin ramai.

“Berapa Pak?” tangan ibu mengambil sepasang sepatu.
“Itu empat puluh ribu Bu,” senyuman dan tatapannya membuatku semakin menunduk.
“Tigapuluh ribu saja ya Pak?” sambil menawar ibu meminta persetujuanku membeli sepatu itu.
“Untuk anaknya ya Bu?”
“Iya nih Pak sepatunya harus segera diganti.”
“Siswa di SDIT Al Fatah ya?”
“Iya Pak. Eh kamu kenal De?” aku menggeleng.
“Ya sudah ambil saja tigapuluh ribu Bu,” jemarinya sergap membungkus sepatu hitam bertali pilihan ibu untukku. Ada perasaan tak enak di hatiku entah apa dan mengapa. Ia menunduk.

###

Seperti biasa ia tersenyum menyambut. Tidak hanya untukku kupikir. Peci hitam itu lagi. Sapu tangan usangku jauh lebih bagus dari pecinya yang lusuh. Aku menghormatinya sebagaimana teman-teman memperlakukannya. Bersalaman. Itupun kulakukan separuh hati. Bahkan sebisa mungkin aku menghindar.
Bel berbunyi. Aku harus lulus dengan nilai terbaik agar bisa masuk ke SMP favorit. Pengayaan materi UN baru saja berakhir. Kugendong tas hitamku. Setengah berlari kuambil sepeda di parkiran.

“Kenapa Fik?”

Dia lagi. Aku terdiam. Wajah panikku tak bisa kusembunyikan. Jika saja tak memerlukan pertolongan pasti aku segera pergi.

“Eh hm ini Pak. Emmm itu...,” aku benar-benar gugup.
“Coba Bapak lihat. Sebentar!” tanpa kuminta ia berjongkok, tangannya tanpa ragu meneyentuh rantai sepeda. Bolak-balik ia memutar kepala. Bangun dan duduk lagi. Menuntun dan berjongkok lagi. Hatiku miris. Inikah seseorang yang aku malu mengakuinya. Acuh ketika bertemu dengannya di jalan. Bahkan berkata tak kenal ketika ibuku bertanya tentangnya.
“Nah sudah! Lain kali kamu bisa belajar service sama Bapak, Fik!” Aku malu. Dibalik pelindung kepalamu yang pudar ternyata engkau baik sekali. Pecimu mungkin lusuh tapi hatimu selembut salju. Maaf ya Pak aku sombong. Aku malu mengakui bahwa engkau guruku. Tapi sekarang aku tahu dan aku bangga sekali. Engkau sangat baik. Walaupun selama ini aku tidak peduli tapi engkau tetap baik.
“Ter... terima kasih Pak!”
“Iya. Yasudah kamu cepat pulang pasti ibumu sudah menunggu,” kali ini kucium hikmat punggung tangannya. Tak peduli tangannya kotor terkena rantai sepeda. Terimakasih Pak Kholil.
“Assalamu’alaikum, Pak terima kasih,” kuberikan secarik kertas yang kutulis ketika ia sibuk membetulkan sepeda.
Pak nanti aku boleh kan ikut bapak berdagang di pasar Malam?
Kutahu pandangannya mengantarkanku keluar gerbang sekolah. Seketika kudengar teriakannya
”Fik nanti malam Bapak tunggu ya!”
Aku mengangguk mantap. Aku tak perlu malu. Dan pernah malu memiliki guru sepertimu.

Tidak ada komentar: