Kamis, 24 November 2011

Cerita Langit


Pandanganku beralih pada seorang kakek dengan punggung karung berisi kardus2 bekas. Bukan itu yang membuat hatiku terenyuh. Tapi kedua kakinya yang hanya ditopang dua tongkat dengan kaki mengatung dan terseret-seret. Pelan sekali beliau “berjalan”.

“Cuma karena pengin makan ya, Mbak?” sepupuku ternyata juga memperhatikan orang yang berjalan di pinggir jalan raya itu.

“Bukan cuma itu. Coba liat! Orang yang kayak gitu masih mati-matian menjaga harga diri. Nggak minta sana-sini. Apalagi menghalalkan segala cara.” Pandanganku tak berpindah pada kakek bertopi lusuh yang menunduk, mungkin menjaga keseimbangan tongkatnya.
Sahhil umuurahu Ya Rabb...
Kami; aku, bapak, emak, bule, pakle segera meluncur ke lokasi, menjenguk tetanggaku yang baru saja melahirkan. Aku ragu melintas jalan. Tak tega rasanya mendahului kakek yang bersusah payah berusaha berjalan mencapai tujuan. Kulihat buleku menghampirinya dan memberikan rupiah, entah berapa. Hatiku terketuk, mengapa daritadi hanya mengiba tanpa berinisiatif melakukan tindakan seperti bule?.Aku merogoh kantong. Kosong. Kuingat-ingat dimana menyimpan uang. Ah ternyata memang aku tak bawa. Tepatnya memang tak ada uang. Hatiku miris. Sakit. Maaf kek... aku tersadar betapa kaya itu penting. Sangat penting. Kaya untuk si papa yang lemah. Kaya untuk menegakkan kalam-Nya. Huft maaf Rabb..
Allahummaghfirlahu...
Selang 5 menit kami sampai di rumah berlantai 3. Pagarnya tinggi tertutup rapat. Di terasnya terlihat taman kecil. Ada kuburan ari-ari yang disinari lampu kecil di taman itu. Sang tuan rumah mempersilakan kami masuk. Hmm sebenarnya aku ragu datang kesini. Aku hanya takut iri menyaksikan rumah megah baru tetanggaku, takut tidak bisa menjaga hati. Tapi bagaiamanapun hidup tidak hanya untuk memikirkan hal dunia. Kita mesti melakoni dengan baik semua skenario yang telah dipersiapkan.

Kami memijak anak tangga yang dilapisi marmer. Menuju lantai dua, pandanganku menyapu seisi rumah. Minimalis dan banyak ruang. Tidak semegah yang aku bayangkan, walaupun kenyataannya memang tergolong mewah. Ruang tamu elegan, dapur minimalis, ruang keluarga, kamar mandi, musholla. Ingatanku kembali pada si kakek renta tadi. Sudah sampai manakah beliau berjalan. Miris rasanya menyaksikan tanah yang kupijak, sang kaya raya usahawan dengan si kakek yang berjuang untuk melanjutkan hidupnya.

Obrolan kami tak lain tak bukan masalah bayi. Yaaa beruntunglah kau nak dilahirkan oleh keluarga berada, tante doakan biar menjadi anak yang sholihah dan bermanfaat bagi sesama. Aamiin. Kelak orag sepertimulah yang harus membantu mereka-mereka yang kekurangan.

Aku akan berusaha menjadi si kaya yang shaleh. Tidak sombong dan menebar pahala dimana-mana. Menjadi salah satu sarana pertolongan bagi mereka yang membutuhkan. Tergambar sudah peta usaha di otakku. Tak sabar rasanya ingin kutumpah semua dalam alinea. Tapi haruskah disini? Hoho sabaaaar, terlampir yaaa :D
Apapun doakan yaa moga semua lancar dan dipermudah Aamiin. Istajib du’anaa ya Rabb...

ketika ia bercerita
Selalu ada berkah di setiap siaturahmi, kebersamaan, peristiwa dan aneka drama yang DIA tunjukkan. Semoga bisa diambil pelajaran tiap kali langit bercerita pada bumi. Aamiin.


Jannaty, 22:10 WIB
24 Nopember 2011 M
28 Dzul Hijjah 1432 H

1 komentar:

dhenok habibie mengatakan...

hmm, sebuah cerita langit yang menginspirasi mbak.. dan semoga kita bisa terus bermanfaat untuk sesama..

oya, di blog saya sedang ada pameran Bait-Bait Hati.. silahkan mampir ke http://gamazoe.wordpress.com/2011/11/30/antologi-kedua-bait-bait-hati/ :)