Kamis, 22 Desember 2011

Pemimpin Itu Harus Arogan





“Ngeliat pake ini apa ini?” Dia menunjukkan mata dan dan lututnya dengan telunjuk. Rasanya ingin sekali kujawab dengan menunjukkan lutut. Tapi tanganku mengarah kemata. Menjawab pertanyaannya bahwa aku melihat dengan mata, bukan lutut. 

Rasanya hatiku ingi berteriak “Aku melihat dengan lutut, Bu.” Lantas kau membalas ucapanku dengan matamu yang tetap melotot “Coba praktikkan kalo kamu ngeliat pake lutut!” dan kujawab “begini ni, Bu!” lalu lututku bergoyang-goyang menengok kanan kiri seolah-olah dapat melihat.

Sayang, aku cuma bawahan yang lemah. Yang bisa diprotes, dimaki, dan dibentak-bentak didepan umum seperti tadi. Dan akulah yang salah tidak bisa berkata selantang dan setegas itu membela diri. Mungkin aku memang salah, bu. Karena jujur ini pengalamanku pertama kali disini  dan aku bingung harus berbuat apalagi. Termasuk katamu yang disuruh melihat bahwa laporanku salah dan tidak diperbaiki.

Hah! Allah saja tidak menghukum orang yang tidak sengaja dan lupa. Lantas kenapa dengan sifatmu yang terlalu tinggi bisa bersikap sekasar itu terhadap anak buahmu. Arogan. Tidak bisakah bicara dengan nada pelan, Bijaksana selayaknya pemimpin berpendidikan tinggi yang tahu etika?

Yah, semua juga tahu sifat dan tabiatmu, dan aku pun (dipaksa)  mengerti itu. Dan tanpa pernah kutahu pernahkah kau berusaha mengerti dan menghargai pekerjaan anak buahmu. Yang kutahu, kalau ibu moodnya oke kau bersikap royal dan menerbar senyum yang paling merekah. Dan kalau kau lagi gak mood kau siap menerkam dengan caling an tandukmu yang perlahan keluar.

Huft. Maaf bu jika kuharus berkata demikian. Aku simpati padamu. Sungguh. Kau cerdas, bijaksana, Ilmumu pantas diacungi 10 jempol. Aku kagum dengan prestasimu yang menjulang diusia mudamu. Sampai kepala empat sekaran kau berhasil membawahi 3 unit sekolah, Guru teladan dan usahamu menyebar hampir di seluruh pelosok jawa. Aku sungguh kagum. Tapi mengapa kau rusak semua image ku padamu menjadi begitu buruk. Akibat nila setitikrusak susu sebelanga.
Tolong kontrol emosi. Jika kau tidak suka terhadap seseorang karena alasan pribadi, jangan dibawa dalam urusan pekerjaan. Objektif dalam menilai. Jangan pernah pilih kasih. Hargai jerih payah kami.

Ingatkah kau. Melarang sesuatu. Salah sedikit harus diganti. Tidak boleh ada tip ex salah ejaan, spasi, kapital semua harus serba sempurna. Kami berusaha untuk itu, dan kami mengerti itu memang kewajiban kami memberikan yang terbaik. Tapi, tolong profesional bu. Pernahkah kau sedikit saja mengoreksi hasil kerjamu? Bahkan menyalahi format pun, kau tidak pernah memperbaiki.

Hah! Rasanya aku ingin teriak “KABURO MAQTAN!”

Tapi kau guruku bu. Kau tetap harus kuhormati. Biarlah Allah yang memberimu petunjuk. Kami muridmu, selalu mendoakanmu, yang menebar cahaya ilmu, mengalirkan cahaya ilmu meski dengan cara yang kadang memuat kami terluka. Allahummahdinaa.

Satu yang menjadi pertanyaanku.

Aku, entah dengan yang lain. Setahuku serupa meski tidak sama. Entah enggan, sungkan atau takut jika bertemu denganmu. Apakah karena kharismamu yang begitu memesona. Atau wibawamu yang begitu “menyeramkam” kau begitu disegani.

 Apakah jika suatu saat aku menjadi peminpin aku harus bersifat sepertimu sehinggaa bisa “dihargai” semua anak buah? Apakah aku harus bersifat pepertimu yang menasihati dengan nada tinggi, menyindir dan melotot didepan banyak orang? Apakah harus begitu, Bu?
Tapi yang jelas aku sama sekali tidak, bahkan amat sangat todak nyaman sekali dengan perlakuanmu. Semoga Allah mengampuni dosaku dan dosamu. Aamiin.

Resto Finfin 22:33 WIB
05 Desember 2011 M
09 Muharram 1433 H

Tidak ada komentar: