Senin, 18 Juli 2011

Jendela Kehidupan

Aku ingin hidup secerah mentari
Yang bersinar di taman hatiku
Aku seriang kicauan burung
Yang terdengar di jendela kehidupan

Aku ingin segala-galanya damai
Penuh mesra membuah ceria
Aku ingin menghapus duka dan lara
Menyemai rindu di dalam dada

Sedamai pantai yang memutih
Sebersih titisan embun pagi
Dan ukhuwah kini pasti berputik
Menghiasi taman kasih yang harmoni

Seharum kesturi seindah pelang
Segalanya bermula di hati
Seharum kesturi seindah pelangi
Segalanya bemula disini...

Saujana

Cerita Kecil Untuk Pengantinku

01 Januari 2011
Aku menyebutnya si putih. Si imut yang kulamar dari anak muda yang bernama Nurdin dan mbak-mbak ramah yang menyediakan dua gelas aqua. Cerdas menjawabnya. Sehingga aku yang sok tahu, nekat pergi melamar si cantik ini yang ku tak tahu siapa namanya.Pahamlah sedikit tentang karakternya. Processor 550N. Intel atom. Cpu dual core. 1o jam baterai bertahan.

Jadilah aku menyuntingnya setelah berjam-jam melewati pintu MM dan Giant. BCP aku menemukannya disini. Tanpa pernah kuduga dan kusangka. Jodoh memang tak kemana. Awalnya aku berniat melamar hp atau toshiba. Tapi asuslah jodohku. Dan aku menerima apa adanya. Dia menerima pinanganku setelah menyepakati mahar 2,8juta rupiah. Alhamdulillah... aku harap aku dan kamu menjadi pasangan ideal yang bisa melahirkan berjuta generasi yang bermanfaat yang kan membawa kita ke firdaus-Nya.

Aku belum mengenalmu sepenuhnya, tapi aku akan menyayangimu semampuku. Walaupun aku belum bisa memberi hadiah segram modem dan seperangkat alat kecantikan untukmu. Insya Allah bertahap. Kita akan mengukuir prestasi sepanjang sejarah. Dan aku yakin kamu bersedia menemaniku kapanpun itu.

Kamu tahu pengantinku yang bergaun putih? Aku harus berterimakasih untuk sahabatku Edas yang telah bersedia menemaniku menemuimu. Sebelumnya kami pergi ke 21 untuk menonton Mihrab Cinta. Tapi sayang penuh. Setir kami belokkan ke shoping. Walaupun hakikatnya hanya olahraga. Aku mendapat celana legging hitam bunga-bunga (ow sensooor). Dan sejenak melihat buku di Mizan dan Gramedia MM.

Hm... masih panjang sebenarnya ceritaku untuk mendapatkanmu. Nanti pada saatnya aku akan bercerita banyak kepadamu. Dan aku tahu pasti kamu akan setia mendengarkan dan memperhatikan setiap kata-kataku. ^^ i love you. Satu lagi rumahmu Grand Computer di lantai tiga memberiku jaminan garansi setahun, namun sekarang atau lima puluh tahun lagi ku akan tetap mencintaimu  insya Allah 

Kurang lebih pukul setengah sembilan aku memboyongmu untuk makan di wendy’s MM dan segera menggendongmu pulang menuju kamar kita 


Jannaty, 13: 59 WIB
02 Januari 2011 M
27 Muharram 1432 H

Mengapa Harus Malu

Dia tersenyum. Peci hitam itu lagi. Tangannya merapikan sandal-sandal dan sepatu. Suaranya terdengar lantang menarik para pengunjung yang datang. Genggamanku mengencang saat ibu menghampirinya. Dia tersenyum lagi menatapku. Aku beringsut dibelakang ibu. Menghimpit di pinggiran jalan berjejal dengan kendaraan yang lewat. Suara bising artis tak dikenal dari vcd bajakan membuat Pasar Malem semakin ramai.

“Berapa Pak?” tangan ibu mengambil sepasang sepatu.
“Itu empat puluh ribu Bu,” senyuman dan tatapannya membuatku semakin menunduk.
“Tigapuluh ribu saja ya Pak?” sambil menawar ibu meminta persetujuanku membeli sepatu itu.
“Untuk anaknya ya Bu?”
“Iya nih Pak sepatunya harus segera diganti.”
“Siswa di SDIT Al Fatah ya?”
“Iya Pak. Eh kamu kenal De?” aku menggeleng.
“Ya sudah ambil saja tigapuluh ribu Bu,” jemarinya sergap membungkus sepatu hitam bertali pilihan ibu untukku. Ada perasaan tak enak di hatiku entah apa dan mengapa. Ia menunduk.

###

Seperti biasa ia tersenyum menyambut. Tidak hanya untukku kupikir. Peci hitam itu lagi. Sapu tangan usangku jauh lebih bagus dari pecinya yang lusuh. Aku menghormatinya sebagaimana teman-teman memperlakukannya. Bersalaman. Itupun kulakukan separuh hati. Bahkan sebisa mungkin aku menghindar.
Bel berbunyi. Aku harus lulus dengan nilai terbaik agar bisa masuk ke SMP favorit. Pengayaan materi UN baru saja berakhir. Kugendong tas hitamku. Setengah berlari kuambil sepeda di parkiran.

“Kenapa Fik?”

Dia lagi. Aku terdiam. Wajah panikku tak bisa kusembunyikan. Jika saja tak memerlukan pertolongan pasti aku segera pergi.

“Eh hm ini Pak. Emmm itu...,” aku benar-benar gugup.
“Coba Bapak lihat. Sebentar!” tanpa kuminta ia berjongkok, tangannya tanpa ragu meneyentuh rantai sepeda. Bolak-balik ia memutar kepala. Bangun dan duduk lagi. Menuntun dan berjongkok lagi. Hatiku miris. Inikah seseorang yang aku malu mengakuinya. Acuh ketika bertemu dengannya di jalan. Bahkan berkata tak kenal ketika ibuku bertanya tentangnya.
“Nah sudah! Lain kali kamu bisa belajar service sama Bapak, Fik!” Aku malu. Dibalik pelindung kepalamu yang pudar ternyata engkau baik sekali. Pecimu mungkin lusuh tapi hatimu selembut salju. Maaf ya Pak aku sombong. Aku malu mengakui bahwa engkau guruku. Tapi sekarang aku tahu dan aku bangga sekali. Engkau sangat baik. Walaupun selama ini aku tidak peduli tapi engkau tetap baik.
“Ter... terima kasih Pak!”
“Iya. Yasudah kamu cepat pulang pasti ibumu sudah menunggu,” kali ini kucium hikmat punggung tangannya. Tak peduli tangannya kotor terkena rantai sepeda. Terimakasih Pak Kholil.
“Assalamu’alaikum, Pak terima kasih,” kuberikan secarik kertas yang kutulis ketika ia sibuk membetulkan sepeda.
Pak nanti aku boleh kan ikut bapak berdagang di pasar Malam?
Kutahu pandangannya mengantarkanku keluar gerbang sekolah. Seketika kudengar teriakannya
”Fik nanti malam Bapak tunggu ya!”
Aku mengangguk mantap. Aku tak perlu malu. Dan pernah malu memiliki guru sepertimu.