Rabu, 16 Januari 2013

Aku Dengar, Bunda



“Ayo, Ayu sholat” Aku membujuk Ayu yang sedang asik duduk menyendiri di bangkunya. Dia hanya mengeleng. Seperti biasa ia menunduk, sebisa mungkin agar tidak kontak mata denganku. 

“Ayo, Ayu... teman-temannya sudah sholat tuh. Masa Ayu nggak sholat terus setiap hari. Kalau nggak sholat masuk neraka, lho. Emang Ayu mau masuk neraka?” lagi-lagi aku ceramah yang seharusnya tak perlu. Aku yakin anak sepertinya tidak mempedulikan kalimat sepanjang itu. Ia menggeleng sekali lagi.

“Tadi bilang nakal. Pegang tangan keras” Ayu berusaha menjelaskan dengan suaranya khas anak berusia 5 tahun. Ayu berusia 7 tahun. Namun untuk berbicara kita perlu mencernanya lebih dalam. 

“Apa? Siapa yang bilang nakal? Pegang tangan keras? Siapa?” Aku mencoba memperjelas ucapannya. 

“Bu Guru.”

“Bu Guru? Kapan?” anganku mulai menerawang. Kejadian tadi pagi terputar ulang. Pagi ini Ayu tak mau belajar di kelas. Dia selalu keluar kelas pada jam pelajaran. Berlarian dan berputar-putar di lapangan. Biasanya kubiarkan dia seperti itu. Nanti setelah lelah dia pasti balik ke kelas dengan sendirinya.  Aku tahu betul Ayu tidak bisa dipaksa. Semakin kita keras dia akan semakin menjadi. Namun pagi ini aku benar-benar kesal.

“Ayu kenapa sih kok nggak nurut sama bu guru? Biasanya Ayu pinter.” Aku mencoba berkomunikasi. Berharap aku menemukan solusi dari yang ia ceritakan.  Nihil. Ia tetap berusaha keluar kelas, menutup telinga dan menghindari kontak mata. Aku nyerah. Kubiarkan ia bermain dengan dunianya. Semoga nanti moodnya berubah bagus sehingga aku bisa mencuri-curi untuk menyelipkan ilmu. Harapku.

Sampai jam istirahat berlalu Ayu tetap dengan dunianya. Aku bujuk membaca buku cerita, hanya bertahan 5 menit. Setelahnya dia menari-nari lagi. Biasanya ia mampu duduk manis selama satu jam lebih untuk membaca. Dan kemampuannya membaca lancar adalah anugerah tiada terkira untukku. Mengingat dirinya sama sekali tak mau belajar membaca, apalagi menulis.

Dan detik itu dimana teman-temannya sedang khusyuk menyimak pelajaran. Dimana dia menari-nari di depanku. Aku langsung bilang “Ayu, bu guru bisa marah lho. Ayu kalau begini terus nanti bu guru marah. Ayu kenapa sih? Kok dari kemarin nggak nurut?” aku benar-benar kesal. Sejak 4 hari lalu Ayu tak bisa dikendalikan. Ayu mengambil bolanya. Dia berjalan menuju pintu. Bermain lagi dengan dunianya. Sergap aku tutup pintu. Dia berusaha keras membuka. Kupegang pergelangan tangannya. Pintu tertutup rapat. Ia tiduran dibalik pintu mencari celah bagaimana agar pintu terbuka. Putus asa, dia memejamkan mata. Badannya diam berusaha tidur, seperti biasa.

“Ayu kenapa sih? Kok jadi nakal” matanya tertutup, sepertinya sama sekali ia tak mau mendengar. Kubiarkan dia, menunggu moodnya pulih kembali.

Dan ketika statementnya keluar. Sedikit tapi sangat berarti. Naluriku terketuk. Pikiranku terbuka. Tadi bilang nakal. Pegang tangan keras. Aku mengatakan kata “nakal” tanpa berdosa. meluncurkan panah kata tanpa pernah berpikir akibatnya. Aku telah menyakitinya. Cengkraman tanganku yang kuanggap biasa, menjadi cengkraman maut yang mematikan moodnya. Dia merekamnya dengan sangat kuat. Dia begitu sensitif. Dia layaknya anak lainnya, adalah kertas putih. Polos dan apa adanya. Sekali kita meremasnya, akan tetap tersisa kusutnya. 

Aku sontak memeluknya. “Iya... maaf ya. Bu guru minta maaf” aku menyodorkan tanganku. Dia mengambil tanganku dan menciumnya. Dia tersenyum. Subhanallah, begitu berartinya setiap ucapan kita. Begitu bermaknanya gerak-gerik kita. Sekecil apapun menjadi motivasi atau boomerang bagi mereka. Pantas saja oarang-orang shalih terdahulu berpesan, ucapan itu adalah doa. Ucapkanlah yang baik-baik meski dalam keadaan marah sekali pun.

 Jadi teringat guruku bilang, “kalau marah sama anak bilang aja begini ‘ gue sumpahin lu jadi anak pinter’.” Kontan waktu mendengarnya aku tertawa. Benar-benar lucu tapi benar. sungguh bermakna. Karena ucapan seorang ibu kepada anaknya adalah doa yang akan terijabah tanpa penghalang.

“Sekarang... Ayu sholat yuk!” aku menuntun tangannya. Dia segera mengambil mukenanya di loker. Bergegas sholat dzhuhur menyusul teman-temannya. Namun tetap saja berakhir tubuhnya di lantai. Ia tertidur ketika sujud.

 Huft, bagaimanapun setidaknya lukanya telah terhapus. Tergantikan dengan senyuman yang ia bawa dalam mimpinya. Biarlah. Biar Allah yang yang akan menumbuhkan intelektualitasnya di waktu yang tepat. Karena kita sebagai orang tua, adalah berikhtiar dan berdoa. Karena aku yakin, Ayu mempunyai keistimewaan sendiri. Entah itu apa dan kapan akan terungkap. Terbukti  ia sekarang mampu membaca lancar di tengah kemalasannya belajar membaca dan menulis.

Bunda... betapa ucapan seorang ibu adalah doa. Betapa ucapan kita adalah mesin yang mampu melecut semangatnya. Bahkan sebaliknya. Menjadi panah pembunuh kreatifitasnya. Mereka mendengarnya Bunda... mereka merekamnya. Sekalipun mereka tidak mengutarakannya. Betapa ucapan kita menjadi lentera setiap langkahnya. Bunda... ucapkanlah yang baik-baik.  Meski dalam keadaan marah sekali pun. Diam lebih utama Bunda... ketimbang mereka mendengar kita  berucap kasar bahkan menghardiknya.

Ayu adalah salah satu dari sekian anakku yang mengajarkan banyak hal. Karena mereka bukan sekadar murid. Justru merekalah guruku. Guru yang mengajarkan apapun lewat tingkah dan ucapan polosnya. Terimakasih Rabb... telah membekaliku menjadi seorang ibu. 

V
Jannaty, 11:59 WIB
Selasa, 16 Januari 2013 M
 3 Rabiul Awal 1433 H


Tidak ada komentar: