“Ayo, Ayu sholat” Aku membujuk Ayu
yang sedang asik duduk menyendiri di bangkunya. Dia hanya mengeleng. Seperti
biasa ia menunduk, sebisa mungkin agar tidak kontak mata denganku.
“Ayo, Ayu... teman-temannya sudah
sholat tuh. Masa Ayu nggak sholat terus setiap hari. Kalau nggak sholat masuk
neraka, lho. Emang Ayu mau masuk neraka?” lagi-lagi aku ceramah yang seharusnya
tak perlu. Aku yakin anak sepertinya tidak mempedulikan kalimat sepanjang itu.
Ia menggeleng sekali lagi.
“Tadi bilang nakal. Pegang tangan
keras” Ayu berusaha menjelaskan dengan suaranya khas anak berusia 5 tahun. Ayu berusia
7 tahun. Namun untuk berbicara kita perlu mencernanya lebih dalam.
“Apa? Siapa yang bilang nakal?
Pegang tangan keras? Siapa?” Aku mencoba memperjelas ucapannya.
“Bu Guru.”
“Bu Guru? Kapan?” anganku mulai
menerawang. Kejadian tadi pagi terputar ulang. Pagi ini Ayu tak mau belajar di
kelas. Dia selalu keluar kelas pada jam pelajaran. Berlarian dan berputar-putar
di lapangan. Biasanya kubiarkan dia seperti itu. Nanti setelah lelah dia pasti
balik ke kelas dengan sendirinya. Aku
tahu betul Ayu tidak bisa dipaksa. Semakin kita keras dia akan semakin menjadi.
Namun pagi ini aku benar-benar kesal.
“Ayu kenapa sih kok nggak nurut
sama bu guru? Biasanya Ayu pinter.” Aku mencoba berkomunikasi. Berharap aku
menemukan solusi dari yang ia ceritakan.
Nihil. Ia tetap berusaha keluar kelas, menutup telinga dan menghindari
kontak mata. Aku nyerah. Kubiarkan ia bermain dengan dunianya. Semoga nanti
moodnya berubah bagus sehingga aku bisa mencuri-curi untuk menyelipkan ilmu.
Harapku.
Sampai jam istirahat berlalu Ayu
tetap dengan dunianya. Aku bujuk membaca buku cerita, hanya bertahan 5 menit.
Setelahnya dia menari-nari lagi. Biasanya ia mampu duduk manis selama satu jam
lebih untuk membaca. Dan kemampuannya membaca lancar adalah anugerah tiada
terkira untukku. Mengingat dirinya sama sekali tak mau belajar membaca, apalagi
menulis.
Dan detik itu dimana
teman-temannya sedang khusyuk menyimak pelajaran. Dimana dia menari-nari di
depanku. Aku langsung bilang “Ayu, bu guru bisa marah lho. Ayu kalau begini
terus nanti bu guru marah. Ayu kenapa sih? Kok dari kemarin nggak nurut?” aku
benar-benar kesal. Sejak 4 hari lalu Ayu tak bisa dikendalikan. Ayu mengambil
bolanya. Dia berjalan menuju pintu. Bermain lagi dengan dunianya. Sergap aku
tutup pintu. Dia berusaha keras membuka. Kupegang pergelangan tangannya. Pintu
tertutup rapat. Ia tiduran dibalik pintu mencari celah bagaimana agar pintu
terbuka. Putus asa, dia memejamkan mata. Badannya diam berusaha tidur, seperti
biasa.
“Ayu kenapa sih? Kok jadi nakal”
matanya tertutup, sepertinya sama sekali ia tak mau mendengar. Kubiarkan dia,
menunggu moodnya pulih kembali.
Dan ketika statementnya keluar.
Sedikit tapi sangat berarti. Naluriku terketuk. Pikiranku terbuka. Tadi bilang nakal. Pegang tangan keras.
Aku mengatakan kata “nakal” tanpa berdosa. meluncurkan panah kata tanpa pernah
berpikir akibatnya. Aku telah menyakitinya. Cengkraman tanganku yang kuanggap
biasa, menjadi cengkraman maut yang mematikan moodnya. Dia merekamnya dengan
sangat kuat. Dia begitu sensitif. Dia layaknya anak lainnya, adalah kertas
putih. Polos dan apa adanya. Sekali kita meremasnya, akan tetap tersisa kusutnya.
Aku sontak memeluknya. “Iya...
maaf ya. Bu guru minta maaf” aku menyodorkan tanganku. Dia mengambil tanganku
dan menciumnya. Dia tersenyum. Subhanallah, begitu berartinya setiap ucapan
kita. Begitu bermaknanya gerak-gerik kita. Sekecil apapun menjadi motivasi atau
boomerang bagi mereka. Pantas saja oarang-orang shalih terdahulu berpesan,
ucapan itu adalah doa. Ucapkanlah yang baik-baik meski dalam keadaan marah
sekali pun.
Jadi teringat guruku bilang, “kalau marah sama
anak bilang aja begini ‘ gue sumpahin lu jadi anak pinter’.” Kontan waktu
mendengarnya aku tertawa. Benar-benar lucu tapi benar. sungguh bermakna. Karena
ucapan seorang ibu kepada anaknya adalah doa yang akan terijabah tanpa
penghalang.
“Sekarang... Ayu sholat yuk!” aku
menuntun tangannya. Dia segera mengambil mukenanya di loker. Bergegas sholat
dzhuhur menyusul teman-temannya. Namun tetap saja berakhir tubuhnya di lantai.
Ia tertidur ketika sujud.
Huft, bagaimanapun setidaknya lukanya telah
terhapus. Tergantikan dengan senyuman yang ia bawa dalam mimpinya. Biarlah.
Biar Allah yang yang akan menumbuhkan intelektualitasnya di waktu yang tepat.
Karena kita sebagai orang tua, adalah berikhtiar dan berdoa. Karena aku yakin,
Ayu mempunyai keistimewaan sendiri. Entah itu apa dan kapan akan terungkap.
Terbukti ia sekarang mampu membaca
lancar di tengah kemalasannya belajar membaca dan menulis.
Bunda... betapa ucapan seorang
ibu adalah doa. Betapa ucapan kita adalah mesin yang mampu melecut semangatnya.
Bahkan sebaliknya. Menjadi panah pembunuh kreatifitasnya. Mereka mendengarnya
Bunda... mereka merekamnya. Sekalipun mereka tidak mengutarakannya. Betapa
ucapan kita menjadi lentera setiap langkahnya. Bunda... ucapkanlah yang
baik-baik. Meski dalam keadaan marah
sekali pun. Diam lebih utama Bunda... ketimbang mereka mendengar kita berucap kasar bahkan menghardiknya.
Ayu adalah salah satu dari sekian
anakku yang mengajarkan banyak hal. Karena mereka bukan sekadar murid. Justru
merekalah guruku. Guru yang mengajarkan apapun lewat tingkah dan ucapan
polosnya. Terimakasih Rabb... telah membekaliku menjadi seorang ibu.
V
Jannaty, 11:59 WIB
Selasa, 16 Januari 2013 M
3 Rabiul Awal 1433 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar