Malam itu jam 9. Kemudian jam 12. Kemudian jam 3. Katanya, "jangan suudzon, yang ada malah dosa. Doain aja." Tangannya ngelus tanganku yang memijat dadanya. Ketika dituntun syahadat by phone. Kemudian jam 5 pagi.
Tak ada firasat sama sekali. Pergi sekolah seperti biasa.
Jam 9 pagi lewat. Sedang membaca sambil mengawas ujian. Pak satpam mengabariku. "Bapak sakit" katanya. Aku lari. Aku harus mengantarnya ke rumah sakit seperti biasa.
Sampai di rumah. Ibu menangis mendampingi tubuhnya yang tersandar. Ditemani 2 perawat. Aku panik mengabari paman. Meminta bantuan ini itu tapi tak ketemu.
Panik. Kaget ketika mereka bilang bapak pergi.
Aku tersungkur di dapur. Meringkuk dan menutupi seluruh wajahku. "Nggak... nggak... nggak mau... nggak mau..." cuma itu yang keluar. Aku tak berani menghampiri tubuh gagah kaku itu di kursi.
Allah.... Ibuku histeris. Aku ttap meringkuk. Dan beberapa saat aku sadar. Bapak butuh doaku. Bapak butuh mendengarku mengaji.
Aku segera ke kamar mandi. Mengguyur tubuhku untuk bersuci. Aku tak tahu sudah bersih atau belum. Yang kutau, masa haidku sudah 7 hari. Di tengah gemericik aku terisak. "Bapak... bapak..."sesenggukan. Beberapa orang menegetuk kamar mandi mengkhawatirkanku. Aku segera diam. Selesai mandi kuraih alquran dan mendampingi bapak.
Sosok itu masih gagah. Terdiam menutup mata. "Nggak pak... nggak... bapak masih ada..." di tengah harapan2 itu aku lantunkan ayat suci. Kubaca surat Al Mulk, Ar Rohman, Al waqiah. Kulanjutkan mulai juz 1. Kupeluk tubuh bapak dengan tangan kiriku. Kudekatkan suaraku di telinganya. Wajahnya tertutup. Dan aku, sama sekali tak berani membuka penutup itu. Semakin wajahnya terlihat, aku semakin meraung. Aku tak bisa menerima kenyataan. Tak kuperbolehkan orang2 membuka penutup wajah bapak. Kupeluk bapak... kubacakan terus ayat2 yang dulu sering kali beliau minta... Dan aku, baru membacakannya saat itu.
Aku tak ingin membuat bapak tak tenang. Di tengah isakanku, kubisikkan ke telinganya, "Pita ikhlas pak..." kulanjutkan lagi membaca. Entah sampai kapan.
Aku ikut memandikan jasad beliau. Kualiri air dari tubuh sebelah kanan kemudian sebelah kiri. Ketika beliau dikafankan, aku kuatkan diri untuk melihatnya. Menyandarkan badanku di tembok. Satu tangan mengelus2 punggungku. Menguatkan aku dengan sentuhannya. Tangan itu adalah, tangan sahabatku. Aku tau itu. Dia tak banyak bicara. Karena, seperti yang lainnya, dia juga terluka. Sentuhan2 dari kawan yang menguatkanku sungguh mempunyai efek luar biasa, ketimbang ucapan2 "sabar ya... bapak bla bla bla" justru membuat isakku pecah.
Tibalah saat ketika beliau melewati pintu rumah. Aku tak rela. Sungguh bapak nggak boleh pergi. Bapak harus di sini.... Bapak nggak boleh ninggalin V... Badanku lunglai. Seakan kaki tak memiliki tungkai. Tubuhku rubuh. Direbahkan di pundak bersandar di kursi biru. Kursi bapak bersandar untuk terakhir kali. Mataku tertutup. Air mataku mengalir deras. Aku tak tau apa2 lagi... Yang kuingat bapak.... Bapak... Bapak.... beberapa orang menepuk2 pipiku. Takut aku pingsan atau mungkin takut aku mati. Aku mulai mencoba membuka mata... tapi aku tak bisa... mataku menutup lagi...
Bapak... Bapak.... Bapak lagi apa ya Allah....
Aku bersikeras ikut ke makam. Aku ingin mendampingi bapak sampai terakhir kali. Badan lunglaiku dibonceng oleh bu Ismi ke pemakaman. Tubuhku ditopang oleh entah siapa. Mungkin ibu. Di pemakaman itu aku liat orang2 berkerumun mengantar bapak. Aku dan ibu berpelukan. Mencoba menguatkan badan. Tapi kami, tak berani melihat ke arah liang. Takut.... Bapak nggak mungkin tidur sendirian di situ... ya Allah...
Aku dipapah untuk pulang. Meski aku bersikeras tinggal, mereka memaksaku. Aku nggak suka. Aku mau menemani bapak. Aku nggak mau bapak sendirian ditanya munkar nakir setelah langkah sandal orang2 menjauh.
Aku mau menemani bapak...
Ya Allah.... hembusan nafas, detak, dan langkah, adalah doa untuknya....
"ALLAHUMMAGHFIRLAHU WARHAMHU WA 'AFIHI WA'FU 'ANHU"
Selasa, 9 Desember 2014
Usiaku hampir genap 26 tahun